Tulisan ini
berangkat dari video mengenai Dunia Simulasi[1] oleh
akun channel Youtube Martin Suryajaya[2]
yang memang memiliki konsistensi terhadap konten kefilsafatan. Martin Suryajaya
berangkat dari hipotesis Nick Bostrom yang juga membahas mengenai simulasi yang
berjudul “Are You Living In A Computer Simulation?”[3].
Rasanya sangat hampir mustahil ketika dunia yang kita tempati termasuk
isinya dan diri kita sendiri adalah sebuah simulasi dari sebuah komputer besar
yang bekerja secara masif dan dikerjakan oleh sebuah entitas yang lebih cerdas
dari manusia. Martin Suryajaya menyebutkan kemungkinan bahwa dunia hanyalah
simulasi sangat kecil bahkan hampir mendekati mustahil atau yang disebut dengan
istilah Highly Improbable karena kita dapat bergerak sendiri, berpikir
sendiri dan lain lain dengan kesadaran sendiri, namun dapatkah hal itu
membuktikan bahwa kesadaran kita adalah bukan ilusi?
Martin Suryajaya
mengatakan dalam videonya bahwa gagasan mengenai dunia simulasi sudah ada dari
zaman dahulu, tepatnya ketika Plato memberikan sebuah kisah mengenai “Manusia
Goa”. Tidak hanya dari Plato, Seorang tokoh modern yang terkenal karena sebagai
pencetus faham rasional (baca: Rasionalisme) yakni Rene Descartes juga
memberikan sebuah gagasan mengenai keraguan terhadap apa yang ada dan
satu-satunya yang ada adalah aku yang berpikir. Di era kontemporer seorang
filsuf dan polimatik kelahiran Swedia dengan latar belakang fisika teoretis,
ilmu saraf komputasi, logika, dan kecerdasan buatan, serta filsafat, yakni Nicholas
Bostrom. Dia adalah Profesor di Universitas Oxford, di mana dia sebagai
direktur pendiri di Future of Humanity Institute.[4]
Sudah disinggung sebelumnya terkait hipotesis atau teori dunia simulasi yang
ditulis Nick Bostrom pada tahun 2003 dengan memberikan pengandaian dari tiga
proposisi[5]
salah satunya yang menjadi pembahasan disini ialah bahwa hampir dipastikan kita
hidup dalam sebuah simulasi komputer. Hal ini terkesan seperti kisah dalam film
Matrix dan juga dalam sebuah anime berjudul Sword Art Online arc
Alicization oleh mangaka Reki Kawahara.
Sword art Online
memiliki latar belakang cerita dalam dunia game dan setting waktu di masa depan
dengan genre issekai memiliki tiga season dalam animenya, yang terbaru
adalah alicization. Dalam anime tersebut tergambar jelas bagaimana seorang
ilmuwan, ahli teknologi bernama Kikouka membuat sebuah game yang memiliki hukum
sendiri. NPC dalam game tersebut memiliki kesadarannya sendiri dan bahkan mampu
belajar, melakukan apapun, berpikir, membuat hukum seperti halnya kita sebagai
manusia. Namun, apakah manusia nyata (bukan sebuah cerita fiksi dalam bentuk
anime atau manga) atau bisakah peradaban kita mencapai hal tersebut?
Berbicara mengenai
kemungkinan, maka dapat dikatakan kita bisa mungkin mencapai hal tersebut.
Martin mengatakan hal ini dapat dilihat dari bagaimana teknologi komputer saat
ini sudah dapat membuat sebuah program yang disebut AI, dalam dunia game
misalnya. Game yang menggambarkan teori ini adalah game RPG
yang mana kita mensimulasikan karakter untuk melakukan sesuatu dalam game tersebut,
melakukan misi, menaikkan level dan lain sebagainya. Tentunya dalam game RPG
ini di dalamnya terdapat sebuah AI (Artificial Intellegence) yang
disebut NPC (Non-Player Character) yang dibuat dari sebuah program
tertentu dengan sistem tertentu sehingga NPC tersebut dapat melakukan
tindakan dengan sendirinya. Namun, seiring perkembangan teknologi ini tidak
menutup kemungkinan NPC tersebut akan memiliki kesadarannya sendiri
bukan hanya sebuah program yang diberikan sebuah perintah sistem namun
benar-benar memiliki kesadarannya sendiri seperti yang tergambar dalam serial anime
Sword Art Online: Alicization.
Hal ini terdengar
seperti khayalan semata, namun tidak menutup kemungkinan manusia dapat mencapai
tahap itu dalam perkembangan teknologinya, membuat sebuah dunia game super
canggih dengan komputer yang bekerja super masif sehingga dunia game tersebut
dapat berjalan dengan sendirinya. Jika manusia dapat mencapai tahap itu juga dapat
dimungkinkan kita sebagai manusia adalah sebuah simulasi dari dunia game
yang diciptakan oleh suatu entitas maha cerdas di luar sana. Menarik?
Saya memiliki
analogi yang belum disampaikan Martin Suryajaya namun hal ini terdengar spekulatif
dan cenderung memaksakan logika. Mengenai jika benar kita adalah sebuah
simulasi dari sebuah program komputer, lalu siapa yang memprogram dunia
simulasi ini? Dunia simulasi rasanya akan tampak logis ketika dihubungkan
dengan keberadaan Tuhan. Tuhan yang membuat sebuah sistem yang kita sebut hukum
alam atau dalam Islam Sunnatullah. Kemudian manusia memiliki
kesadarannya sendiri dan dapat melakukan apapun termasuk berpikir bahwa kita
adalah simulasi. Namun, jika ini benar bahwa entitas yang dikatakan di awal
maka akan ada banyak entitas yang disebut Tuhan disana, maka dari itu analogi
ini terdengar hal konyol namun perlu didiskusikan lebih lanjut karena hal ini
akan menarik dibahas.
Dunia simulasi
menjadi sebuah topik yang menarik sekaligus kontroversial karena meruntuhkan
bangunan kepercayaan bahwa kita nyata. Melihat hal ini sebenarnya Derrida pun
setuju dengan ini dalam artian meruntuhkan narasi yang dulu kuat mengakar dan
membangun kembali sebuah kerangka narasi yang benar-benar baru. Hal ini
terbukti ketika Derrida mengatakan segala sesuatu termasuk manusia adalah teks.[6]
Kesamaan kedua teori tersebut adalah membahas objek yang sama yakni metafisika
“Ada” sebagai “Kehadiran”. Dunia simulasi juga menjadikan metafisika sesuatu
yang “Ada” termasuk manusia dan alam semesta sebagai objeknya. Mengapa saya
memasukkan Derrida disini karena selain saya mengagumi sosok Derrida juga ingin
menunjukkan bahwa pemikiran saya banyak terpengaruh oleh Derrida.
Disini saya setuju
dengan hipotesis “Dunia Simulasi” karena selain konsepnya yang berani menghadirkan
sesuatu yang baru juga menjadikan cara berpikir kita akan berubah juga.
Proposisi yang diajukan Nick Bostrom juga dibarengi dengan berbagai argumen,
contohnya saja ada kemungkinan bahwa apa yang kita alami saat ini adalah hasil
dari rekaan atau buatan entitas yang mensimulasikan dunia ini. Di sisi lain
juga kita tidak dapat menjelaskan secara definitif bahwa realitas yang kita
alami saat ini adalah sebenar-benarnya realitas dan bukan sebuah simulasi.
Seperti kasus Goa Plato, keraguan Descartes yang sehingga membuatnya mentok
pada teori yang ada hanyalah “Aku” dan tidak ada “Aku” yang lain selain diriku.
Semua hal itu menjadi mungkin adanya karena dunia yang kita anggap nyata ini
juga hanyalah anggapan yang mungkin nyata adanya.
Ada hal positif
yang mungkin dari hipotesis ini, adalah menjadikan manusia mengurangi sifat
sombong dan serakah yang mana menjadi persoalan abad 21 ini. Hasil dari
peradaban modern yang menempatkan manusia sebagai subjek unggul dan adidaya
akan runtuh dengan sendirinya jika konsep dunia simulasi ini menjadi paradigma
baru peradaban manusia. Jika konsep dunia simulasi versi agama terlalu
spekulatif dan tidak ilmiah yang membuat para manusia banyak yang meragukan keberadaan
entitas maha cerdas yang dalam konsep agama disebut Tuhan, mungkin dengan
konsep yang melalui uji ilmiah ini, manusia akan lebih percaya dengan entitas
maha cerdas tersebut. Akan tetapi, hal ini juga memberikan dampak negatif
berupa pengagungan lebih dari pihak agamawan, merasa menang dan benar sendiri,
namun tampaknya hal ini akan terlalu panjang jika dijelaskan lebih lanjut
disini.
Lalu ketika dunia
ini adalah benar sebuah simulasi apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan
tetap duduk menghadapi kenyataan bahwa kita hanya sebuah simulasi atau kita
bergerak bebas seperti biasanya. Rasanya akan begitu naif ketika saya
mengatakan tidak ada yang bisa diperbuat manusia melainkan duduk dan merenung.
Namun, itu semua tidak akan menyelesaikan masalah ini. Seperti yang ditulis
pada paragraf sebelumnya bahwa konsep ini akan membuat manusia sadar bahwa
dirinya bukan siapa-siapa. Ketika manusia sadar dirinya bukan siapa-siapa dan
apa-apa maka manusia dimungkinkan akan lebih rendah hati, tidak berbuat
semena-mena dan akan lebih menghargai apa yang ada di dunia ini sebagai kesatuan
sistem yang sama. Bukan masalah kita adalah produk simulasi namun kita adalah
makhluk yang sebenarnya sama dan menyatu dengan lingkungan kita. Gagasan
mengenai konsep “Dunia Simulasi” inilah yang mungkin akan dapat mengatasi
masalah di abad 21 ini, yakni kita adalah kesatuan sistem yang memiliki program
yang sama dan dari unsur yang sama. Dengan begitu permasalahan moralitas di
abad 21 akan sangat mungkin dapat diatasi dengan nilai-nilai moralitas bukan
nilai yang menganggap manusia adalah ras unggul sehingga berbuat semena-mena
terhadap manusia lain dan lingkungan seperti dijelaskan pada paragraf
sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar