|
Terdapat jarak antara diri, kebebasan imajinatif dan kesadaran. Ilustrasi : gambar dari Ade Lyonna; keadaan memaksa tuk sadar namun selalu berpikir akan takdir. |
Dalam dunia perkuliahan khususnya yang menempuh studi filsafat takkan lepas dari yang namanya diskusi. Dalam diskusi kefilsafatan seringkali dipahami sebagai kebebasan berpikir dan penyampaian pendapat. Hal ini ditujukan agar terciptanya ruang diskusi. Namun, saya selalu bertanya terkait apa itu kebebasan, apakah kebebasan itu ada? atau hanya dalih untuk suatu kepentingan belaka? ideologi misalnya. Terkait dengan ideologi ada suatu faham ideologi yang sangat fanatik dengan kebebasan menurut saya yang pastinya sudah tak asing lagi di telinga kita, yakni liberalisme. Liberalisme menjunjung tinggi asas kebebasan, manusia bebas berbuat apa saja, hal ini berbanding terbalik dengan sosialisme yang menjunjung tinggi kesetaraan. Antara kebebasan dan kesetaraan selalu menjadi hal yang kontradiktif dan selalu menghasilkan perdebatan. Bahkan perang dunia juga tak lepas dari pertarungan dua faham ini. Untuk mencapai konklusi ada suatu faham yang menggabungkan keduanya menjadi dualisme, mempercayai kebebasan dan kesetaraan. Dalam wacana modern mungkin hal ini akan ada dalam setiap faham, ada kebebasan dan kesetaraan tetapi tetap masih ada kecenderungan. Sistem Ideologi Indonesia misalnya menggabungkan keduanya, atas dasar demokrasi yang mana warga negara bebas berpendapat, namun terdapat hak kesetaraan menyertainya. Hal ini sangat kontradiktif, kebebasan yang terbatasi hak orang lain dan hak kesetaraan yang dibatasi kebebasan orang lain. Namun disini saya tidak akan membahas mengenai gejolak pertarungan wacana keduanya namun lebih membahas terkait kebebasan.
Kebebasan atau freedom adalah term yang memiliki makna tidak adanya provokasi dari pihak luar. Jadi manusia yang bebas memiliki arti ketika manusia berdaulat atas dirinya, melakukan sesuatu tanpa provokasi dari pihak luar, tindakannya adalah sesuai kehendak dirinya, bukan atas provokasi orang lain untuk melakukannya.
Apakah manusia yang membunuh manusia lain atau manusia yang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dirinya atas kehendaknya sendiri dapat dikatakan manusia bebas? Simon de bauvoir memberikan sebuah jawaban yang rasanya dapat kita pertimbangkan. Dalam perkuliahan ada pembahasan mengenai kebebasan ini, dan dosen saya memberikan setidaknya terdapat empat anggapan manusia yang tidak bebas namun dianggap bebas menurut de beauvoir.
1. The sub-man adalah orang yang terjerat dalam ketakutan, pada komitmen, menghindari kekecewaan, menghindari keterlibatan. Jika dia tidak mencoba, dia tidak gagal : takut komitmen. Tidak mau menikah karena takut komitmen ia tidak bebas. Ia masih terperangkap dalam ketakutannya.
2. 'Serious man', yang melilitkan nilai keberadaannya dalam tujuan eksternal-uang, kekuasaan. Dan hasilnya adalah bahwa ia tidak pernah mendapatkannya karena akan selalu ada yang melebihi dirinya. Manusia tipe ini masih terjerat dalam sesuatu objek yakni uang, kekuasaan.
3. The Adventurer, dalam eksplorasi, menaklukan, hanya penaklukan, mencapai pemenuhan hasrat sendiri: egois, tidak bertanggung jawab. Masih terjerat dalam hasrat.
4. The Passionate man, memperlakukan orang lain sebagai objek untuk mencapai kebebasan, menganggap orang lain sebagai objek untuk mencapai kebebasannya. Semua egosentris, Megalomania.
Simon de beauvoir menyampaikan "To be free is not to have the power to do anything you like; it is to be able to surpass the given towards an open future". Pada intinya de beauvoir menyampaikan kebebasan sejalan dengan tanggung jawab. Seperti perkataan Sartre "manusia dikutuk untuk bebas" dalam artian kebebasan manusia selalu harus menerima konsekuensi, bertanggung jawab atas dirinya.
Pendapat diatas rasanya akan lebih cocok jika kita katakan manusia itu memiliki tanggung jawab atau tidak bebas. Manusia selalu hidup terikat dengan sesuatu, entah itu norma, nilai, etika, pengetahuan, dsb.
Hal ini yang menyebabkan saya masih mempertanyakan hal ini, ketika kebebasan manusia dibatasi apa artinya kita bebas, dan kebebasan menurut saya tidak pernah ada sekaligus ada. Tidak ada karena kebebasan selalu ada batas, dan adanya kebebasan karena sebagian besar manusia percaya adanya kebebasan.
Pertanyaan adanya kebebasan ini muncul dari hal besar sampai dengan hal yang sangat kecil dan esensial. Misalnya ketika berpikir bebas apakah benar manusia berpikir bebas? Manusia dalam berpikir selalu ada yang mendorongnya untuk berpikir, ada suatu fenomena, pengalaman. Jika tidak, berarti manusia tersebut tidak sengaja berpikir artinya tidak bebas karena tidak sesuai dengan kehendaknya untuk berpikir. Dalam anatomi tubuh saja manusia sudah tidak bebas, manusia dibatasi oleh tubuh, disamping itu juga manusia dibatasi oleh jiwa, manusia dibatasi oleh pengetahuan.
Lalu apakah manusia masih memiliki kebebasan? Apakah kebebasan adalah hal dasar dalam diri manusia dan harus kita jadikan sebuah ideologi? Kita lahir pun tidak bebas memilih lahir dimana, berjenis kelamin apa, ataupun memilih yang lain.
Hal dasar sampai hal besar, manusia akan selalu terkait ataupun dikaitkan dengan sesuatu. Jadi untuk apa bebas jika kita tak tahu bebas itu apa, dan tidak sadar bahwa dirinya terkait atau dikaitkan dengan suatu hal lain? Tulisan ini bisa dijadikan sebuah ruang diskusi yang menarik karena apa yang saya sampaikan rasanya banyak pertentangan disana sini, namun yang penting adalah kesadaran akan diri sebagai manusia dan mempertanyakan pertanyaan dalam diri.
"Apa itu kebebasan? Apa sebegitu kecilnya nilai kemanusiaan sehingga manusia seakan dituntut untuk bebas?
Dalam berpikir pun manusia akan selalu mengaitkan pikirannya dengan sesuatu yang lain, nilai, norma, etika, pengetahuan, ego, perasaan dan lain sebagainya.
Dalam menulis yang mana tanpa adanya intimidasi pun selalu dituntut untuk mempertanggungjawabkan tulisannya. Apakah kebebasan ada? Atau hanya permainan bahasa untuk legitimasi peradaban, budaya atau ideologi tertentu?"
Sekian,
Salam dianoia
Salam literasi,
Widhianto
Komentar
Posting Komentar