Langsung ke konten utama

NKRI Harga Mati sebuah slogan yang menjadi ideologi : Analisis Kritis teori hegemoni Antonio Gramsci.

Kemenangan Joko Widodo atas Prabowo dalam pilpres 2019 menandakan kemenangan keduanya atas Prabowo dua kali berturut-turut di ajang pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Pesta Demokrasi di Indonesia sudah menjadi sebuah tradisi bagi bangsa Indonesia yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pilpres tahun 2019 adalah terakhir kali pesta demokrasi di Indonesia dilaksanakan. Dalam pesta demokrasi terdapat pertarungan para calon presiden dan calon wakil presiden yang berebut menuju kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Selain pertarungan sang calon juga terdapat pertarungan ideologi di kedua belah pihak. Pada pilpres 2019 pertarungan Ideologi antara kubu Jokowi dengan slogan NKRI Harga Mati dengan kubu prabowo dengan slogan NKRI bersyariat menjadi sangat terlihat. Dengan kemenangan ini terlegitimasi sudah ideologi yang dibawa kubu Jokowi sebagai ideologi yang mutlak dengan kuatnya di segala lini pemerintahan.

Slogan NKRI harga mati sudah menjadi sebuah ideologi. Pada awalnya slogan ini menandakan sebuah semangat kebangsaan, tentang keutuhan NKRI, dan persatuan bangsa yang bersifat normatif. Slogan ini sering terdengar mulai runtuhnya Orde Baru, kemudian peristiwa lepasnya Timor Leste dari Indonesia, Peristiwa Ambon, Papua, Aceh dan masih terjadi hingga saat ini. Slogan ini terdengar sangat hebat dan superpower yang dianggap harus ada dalam setiap diri masyarakat. Akan tetapi, pada hari ini slogan tersebut digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kebenaran, tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi mereka akan dipidana, serta digunakan sebagai klaim pembenaran contoh saja diskriminasi etnis tionghoa, pembubaran HTI dan FPI, serta penyitaan buku-buku kiri. Hal ini sering dilakukan mengatasnamakan NKRI harga mati, yang seakan-akan inilah kebenaran. Tentunya tidak ada yang bisa melawan karena slogan ini dimiliki oleh penguasa (pemerintah) yang mana dengan slogan ini segala apa yang dilakukan pemerintah akan dianggap sebagai kebenaran jika menggunakan slogan NKRI harga mati.

Untuk membedah hal ini, saya menggunakan analisis teori hegemoni Antonio Gramsci yang menurut saya sesuai dengan konteks kajian ini. Dari latar belakang dan teori yang digunakan saya menemukan beberapa rumusam masalah yakni, sedikit tentang bagaimana teori gramsci ini diterapkan? kemudian bagaimana slogan NKRI harga mati berubah menjadi sebuah ideologi? bagaimana proses hegemoni slogan NKRI harga mati dan mengapa hal ini bisa terjadi? serta kaitannya dengan ideologi bangsa yakni demokrasi.

Teori Hegemoni Gramsci dalam penggunaannya sebagai pisau analasis wacana kritis secara garis besar mengacu pada dominasi kuasa. Pihak yang berkuasa akan menghegemoni pihak yang dikuasa, pemerintah akan menghegemoni pihak yang diperintah dan lain sebagainya. Kondisi sosio politik pada kehidupan Gramsci pun sangat berpengaruh dalam terciptanya teori ini. Hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan dan berbagai konflik yang terjadi membuat dirinya menjadi seorang revolusioner. Dengan fenomena inilah Gramsci melakukan pengamatan dan interpretasi dari pengalamannya, hal ini menandakan juga teori Gramsci bukanlah sebuah kontemplasi. Hal ini mirip seperti fenomena yang terjadi di Indonesia hari ini. Kemiskinan, ketidakadilan, konflik terjadi dimana-mana. Dari fenomena tersebut dapat kita simpulkan teori ini sangat berkaitan erat dengan sosio politik dan dominasi kuasa yang berujung pada ketidakadilan.

NKRI Harga Mati, sebuah slogan yang sering kita dengarkan namun jarang masyarakat yang paham apa arti sebenarnya. Dalam konteks slogan, di Indonesia NKRI harga mati adalah slogan paling besar, disusul oleh slogan Indonesia bersyari'at, kami bersama rakyat seperti yang dilakukan oleh kaum kiri, dan lain sebagainya. Akan tetapi selain slogan nomor satu yakni NKRI harga mati akan dihujam, ditutup mulutnya serta hampir tidak ada celah untuk kritik malah jika terus dibiarkan hal ini akan menjadi sebuah ideologi yang mana sudah tidak ada lagi ruang kritik. Alhasil kebenaran mutlak telah dilegitimasi.

Sebuah slogan pasti berasal dari simbol yang mana slogan tersebut mengacu kepada suatu konotasi tertentu, dalam konteks bahasan ini ialah nasionalisme dan persatuan bangsa. Akan tetapi sebuah slogan akan tetap membawa yang namanya wacana. Konotasi slogan NKRI harga mati adalah bentuk nasionalisme dan persatuan bangsa inilah wacana yang dibawa. Suatu wacana tidak akan merasuk dalam pikiran manusia tanpa adanya kekuatan yang menyertai. Seperti yang disebutkan dalam teori hegemoni Gramsci yang berbicara seputar dominasi, penguasa dan yang dikuasai, pemerintah dan yang diperintah. Nah, pihak penguasa akan membuat sebuah wacana yang digunakan sebagai penguat kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Penguasa akan melakukan strategi hegemoni pada pihak yang dikuasai.

Slogan NKRI harga mati adalah salah satu strategi mempertahankan kekuasaan dengan cara hegemoni. Teori hegemoni gramsci yang kita tahu memiliki dua cara dalam penerapannya, secara kasar dan halus. Proses hegemoni secara kasar mungkin akan mudah terlihat, biasanya dilakukan untuk melakukan invasi militer, perluasan wilayah ataupun penjajahan. Secara kasar slogan ini menghegemoni dengan menyerang pihak penentang slogan ini ataupun yang diduga mencoba melemahkan NKRI. Kasus lain ialah, dengan slogan ini digunakan untuk penggusuran, perataan lahan warga yang diklaim milik pemerintah. Kasus lain penyitaan buku-buku kiri yang dipercayai akan meruntuhkan NKRI, serta masih banyak kasus lain atas nama NKRI Harga mati. Secara halus strategi ini diterapkan pada masyarakat sehingga secara tidak sadar menyetujui slogan ini dan akan mengerahkan segalanya atas nama NKRI Harga Mati yang sebenarnya slogan ini adalah strategi mempertahankan kekuasaan.

Hebatnya strategi ini di Indonesia dikarenakan adanya kelompok masyarakat yang mendukung. Presiden Jokowi yang mana menggaet Ma'ruf Amin sebagai wakilnya menjadikannya lebih mudah dalam menghegemoni. Sebenarnya strategi ini sudah sangat lama diterapkan ketika menurunkan Soeharto dari jabatan presiden. Bahkan hal ini dikuatkan lagi dengan ucapan dari seorang Ulama' kharismatik yang mengatakan hubbul wathan minal iman. Kalimat ini benar-benar seperti sihir yang merasuk dalam diri masyarakat. Saat ini tidak perlu susah payah untuk menghegomoni lagi, akan tetapi lebih kepada mempertahankan slogan ini yang pada akhirnya menjadi sebuah ideologi. Inilah yang menakutkan, tidak adanya ruang diskusi, justifikasi kebenaran dan anggapan mutlak tentang harga mati.

Semangat nasionalisme dan persatuan telah diubah menjadi sebuah strategi penguasa untuk terus menguasai yang pada akhirmya penyitaan buku, pembubaran kelompok demonstran, penangkapan pengkritik akan dianggap sebagai kebenaran. Tidak ada ruang diskusi yang mana menjadi ciri khas dari demokrasi. Negara Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi telah menjadi sebuah demokrasi mutlak dengan kebenaran mutlak yang menggunakan slogan NKRI harga mati dimana slogan ini telah menjadi semangat kebangsaan.

Slogan NKRI harga mati telah menjadi sebuah ideologi dan membentuk suatu narasi baru yang kebenarannya mutlak. Manipulasi oleh penguasa atas slogan ini menjadi sebuah babak baru hegemoni yang secara tak sadar masyarakat telah menjadi alat penguasa, dan yang menarik slogan ini dianggap sebagai nilai ideal negara Indonesia. Kontras dengan hal ini penerapannya jauh dari kata netral dan menimbulkan fanatisme baru yang mana masyarakat tak sadar telah mengubah kata netral menjadi fanatik, menghilangkan asas demokrasi dan ruang diskusi serta menjadikan kekuasaan mutlak oleh penguasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasus Nissa Sabyan dan Destruksi Pola Pikir

Baru-baru ini ramai sekali perbincangan di media sosial maupun di gosip-gosip tetangga bahkan di tongkrongan kalangan mahasiswa sekalipun mengenai isu yang terjadi pada salah satu publik figur Indonesia, Nissa Sabyan. Beberapa teman saya, hampir seluruhnya dapat ditemui di status whatsapp maupun ketika sedang bertemu dan ngobrol tentangnya menyalahkan Nissa. Selain itu banyak sekali yang bertanya kepada saya terkait tanggapan mengenai kasus ini. Jujur saja saya tidak terlalu mengikuti kasus seperti ini yang menurut saya receh sekali untuk ditanggapi. Namun, saya melihat hujatan dari Netizen kepada Nissa terlalu berlebihan. Mengapa tidak? Hujatan dari netizen selalu berangkat dari background Nissa yang notabene terkenal religius (dalam tulisan ini kata religius; baca : Islami) karena sering tampil dengan gaya religi (berjilbab, senang bersholawat, dan lain sebagainya). Mungkin kasus seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia dimana oknum yang sering tampil religius tetapi dianggap m...

Kebebasan, apakah ada? Pernahkah kita dengan sadar mempertanyakannya?

Terdapat jarak antara diri, kebebasan imajinatif dan kesadaran. Ilustrasi : gambar dari Ade Lyonna; keadaan memaksa tuk sadar namun selalu berpikir akan takdir. Dalam dunia perkuliahan khususnya yang menempuh studi filsafat takkan lepas dari yang namanya diskusi. Dalam diskusi kefilsafatan seringkali dipahami sebagai kebebasan berpikir dan penyampaian pendapat. Hal ini ditujukan agar terciptanya ruang diskusi. Namun, saya selalu bertanya terkait apa itu kebebasan, apakah kebebasan itu ada? atau hanya dalih untuk suatu kepentingan belaka? ideologi misalnya. Terkait dengan ideologi ada suatu faham ideologi yang sangat fanatik dengan kebebasan menurut saya yang pastinya sudah tak asing lagi di telinga kita, yakni liberalisme. Liberalisme menjunjung tinggi asas kebebasan, manusia bebas berbuat apa saja, hal ini berbanding terbalik dengan sosialisme yang menjunjung tinggi kesetaraan. Antara kebebasan dan kesetaraan selalu menjadi hal yang kontradiktif dan selalu menghasilkan perdebatan. Bah...