Langsung ke konten utama

Kasus Nissa Sabyan dan Destruksi Pola Pikir


Baru-baru ini ramai sekali perbincangan di media sosial maupun di gosip-gosip tetangga bahkan di tongkrongan kalangan mahasiswa sekalipun mengenai isu yang terjadi pada salah satu publik figur Indonesia, Nissa Sabyan. Beberapa teman saya, hampir seluruhnya dapat ditemui di status whatsapp maupun ketika sedang bertemu dan ngobrol tentangnya menyalahkan Nissa. Selain itu banyak sekali yang bertanya kepada saya terkait tanggapan mengenai kasus ini.

Jujur saja saya tidak terlalu mengikuti kasus seperti ini yang menurut saya receh sekali untuk ditanggapi. Namun, saya melihat hujatan dari Netizen kepada Nissa terlalu berlebihan. Mengapa tidak? Hujatan dari netizen selalu berangkat dari background Nissa yang notabene terkenal religius (dalam tulisan ini kata religius; baca : Islami) karena sering tampil dengan gaya religi (berjilbab, senang bersholawat, dan lain sebagainya). Mungkin kasus seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia dimana oknum yang sering tampil religius tetapi dianggap memiliki etika yang tidak pantas. Perlu dicatat bahwa saya sebagai penulis tidak menjustifikasi yang tersandung kasus tidak memiliki etika yang tidak pantas, akan tetapi saya melihat dari anggapan para netizen dan masyarakat Indonesia yang menanggapi isu tersebut.

Pada kasus Nissa, para Netizen melontarkan berbagai hujatan kepadanya yang pada intinya ialah "penampilan religius namun perilaku bak bulus" intinya hujatan yang membandingkan penampilan dan perilaku. Seperti ditulis sebelumnya bahwa kasus seperti ini sudah sering terjadi namun perbandingan antara penampilan dan perilaku selalu dijadikan bahan hujatan seakan-akan netizen selalu kaget dengan isu seperti ini. Kasus yang dekat dengan hal ini ialah Kiai pondok pesantren di Jombang yang mencabuli belasan santriwati, kemudian beberapa tahun yang lalu ada kasus korupsi dari menteri agama SDA, dan kasus-kasus lain yang selalu membandingkan penampilan dengan perilaku.

Pada tulisan ini, saya akan berfokus pada tanggapan saya mengenai fenomena tanggapan netizen dan masyarakat dalam menanggapi kasus Nissa ini yang selalu mengarah pada pembandingan penampilan dan perilaku. Masih saja masyarakat Indonesia selalu kagetan dengan isu terbaru dan menjadi trending di media sosial. Di sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa hujatan kepada Nissa ini terlalu berlebihan bahkan dapat dikatakan alay. Kenapa? Karena kasus serupa dengan etika pelaku yang tidak sesuai dengan penampilannya yang religius. Harusnya hal seperti ini tidak akan berlebihan jika netizen dan masyarakat tidak kagetan. Hampir semua orang pasti sudah memahami dan saya yakin karena wacana ini sudah seringkali saya lihat di media sosial tentang penampilan tidak mempengaruhi perilaku. Namun ketika ada isu yang bersinggungan dengan pelaku yang berpenampilan religius (berjilbab) akan selalu ramai kemudian akan dihujat dengan tuturan penampilan religius tetapi perilaku seperti bulus dan semacamnya.

Mengapa hal itu terjadi? Sebenarnya hal ini sangat terkait erat dengan wacana keagamaan yang hadir di Indonesia. Budaya Jilbab dan pakaian muslim telah menjadi barometer seseorang dapat dikatakan religius. Hal ini menjadikan sebuah paradigma bahwa seseorang muslimah yang beljilbab akan dikatakan religius.

Sebenarnya masyarakat sudah mengetahui konsep tentang "Don't judge a book by the cover atau jangan menilai orang dari covernya" akan tetapi ketika ada kasus seperti yang disebutkan di atas, netizen dan masyarakat selalu kagetan dan seolah-olah melupakan konsep ini. Maka dari itu dapat saya katakan hal ini berlebihan dan alay karena netizen dan masyarakat selalu kagetan dalam menanggapi isu-isu seperti ini. Kagetan dalam kasus ini ialah menanggapi suatu isu atau fenomena yang sudah sering terjadi dari dulu namun tetap menganggapnya fenomena terbaru yang pada akhirnya hanya mengulang statement lama. Dalam kasus ini ialah "Don't judge a book by the cover", berpenampilan religius namun perilakunya tidak mencerminkan penampilannya. Statement ini seolah-olah baru saja terjadi padahal kasus seperti ini sudah seringkali terjadi sebelumnya namun masyarakat masih saja kagetan.

Kembali pada latar belakang saya menulis tulisan ini yakni dari observasi saya pada status whatsapp dan tongkrongan maupun obrolan virtual bersama kawan mahasiswa saya. Rasanya hal ini tidak pantas bagi seorang mahasiswa yang notabene akan kritis dalam menanggapi isu-isu seperti ini dan kawan-kawan saya memang sudah biasa tidak kagetan malah cenderung menjadikannya lelucon. Terlalu berlebihan dalam menghujat bahkan cenderung alay oleh netizen dan masyarakat pun bukan suatu yang dibenarkan dan tidak akan menjadi kebenaran. Namun, hal seperti ini akan sangat berpengaruh pada pola pikir yang kagetan juga dapat mempengaruhi mahasiswa yang akhirnya terjadi downgrade pola pikir.

Disini lah peran filsafat dalam mencegah masyarakat agar tidak kagetan. Melalui kacamata filsafat, sudut pandang dalam melihat objek atau isu yang sama akan berbeda. Dalam sejarahnya filsafat mengalami berbagi dialektika yang bertujuan untuk menanggapi fenomena yang ada pada saat itu beserta solusinya. Dalam kasus ini yakni menjadikan kita semua agar tidak kagetan. Mengapa demikian? Kagetan berarti tidak fokus, ketika seseorang tidak fokus maka besar kemungkinan akan mudah melakukan kekeliruan, jauh dari kata tepat. Para filosof terdahulu tidaklah serta merta memunculkan teori tanpa adanya fokus, artinya para filosof tidak kagetan dalam menanggapi fenomena pada zamannya yang pada akhirnya dapat mengatasi permasalahan tersebut. Para filosof memakai statement sebelumnya untuk digunakan sebagai dasar pemikirannya, bukan mengulang statement sebelumnya.

Sejarah filsafat selalu memiliki perbedaan di setiap eranya bahkan di setiap detiknya filsafat selalu memiliki perkembangan. Filsafat mengajarkan kita untuk bisa menanggapi fenomena dengan kritis. Kritis menjadikan kita dalam menanggapi suatu fenomena secara sistematis tidak muter-muter dalam lingkaran setan, dalam kasus ini adalah selalu menggunakan statement yang disebutkan sebelumnya padahal sudah mengetahui statement tersebut.

Ketika membaca buku Sapiens karya Yuval Noah Harari kita diberikan data sejarah yang mana memang setiap zaman manusia memiliki pemikiran yang berbeda tergantung fenomena apa yang sedang dihadapi, meskipun ada kesamaan, namun jika kita selalu masuk dalam lubang atau pemikiran yang sama maka pola pikir kita tidak akan berkembang. Karena dalam buku Tentang Manusia karya Reza Wattimena (2016) disebutkan bahwa Pola pikir kita menentukan struktur otak kita, sekaligus kesehatannya. Dengan latihan yang sistematis, otak bisa menjadi sehat kembali, walaupun ia telah mengalami luka sebelumnya. Maka dari itu kebiasaan kagetan akan menjadikan lingkaran setan dalam pola pikir kita, menjadikannya stagnan atau tidak berkembang bahkan yang paling buruk adalah matinya nalar kritis.

Tulisan ini saya buat agar para mahasiswa pada umumnya dan kawan mahasiswa saya secara khusus serta para netizen dan masyarakat yang membaca tulisan saya dapat mendiskusikan isu ini secara kritis tidak arogan dan berlebihan dengan berbagai hujatan yang sebenarnya tidak perlu. Masih banyak kekurangan dalam tulisan ini dan penulis mengharapkan apresiasi berupa kritik dan saran yang membangun serta diskusi yang dapat mengupgrade pola pikir penulis dan pembaca sekalian.

Terima kasih.

Salam Literasi
Salam Humanisme

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebebasan, apakah ada? Pernahkah kita dengan sadar mempertanyakannya?

Terdapat jarak antara diri, kebebasan imajinatif dan kesadaran. Ilustrasi : gambar dari Ade Lyonna; keadaan memaksa tuk sadar namun selalu berpikir akan takdir. Dalam dunia perkuliahan khususnya yang menempuh studi filsafat takkan lepas dari yang namanya diskusi. Dalam diskusi kefilsafatan seringkali dipahami sebagai kebebasan berpikir dan penyampaian pendapat. Hal ini ditujukan agar terciptanya ruang diskusi. Namun, saya selalu bertanya terkait apa itu kebebasan, apakah kebebasan itu ada? atau hanya dalih untuk suatu kepentingan belaka? ideologi misalnya. Terkait dengan ideologi ada suatu faham ideologi yang sangat fanatik dengan kebebasan menurut saya yang pastinya sudah tak asing lagi di telinga kita, yakni liberalisme. Liberalisme menjunjung tinggi asas kebebasan, manusia bebas berbuat apa saja, hal ini berbanding terbalik dengan sosialisme yang menjunjung tinggi kesetaraan. Antara kebebasan dan kesetaraan selalu menjadi hal yang kontradiktif dan selalu menghasilkan perdebatan. Bah...

NKRI Harga Mati sebuah slogan yang menjadi ideologi : Analisis Kritis teori hegemoni Antonio Gramsci.

Kemenangan Joko Widodo atas Prabowo dalam pilpres 2019 menandakan kemenangan keduanya atas Prabowo dua kali berturut-turut di ajang pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Pesta Demokrasi di Indonesia sudah menjadi sebuah tradisi bagi bangsa Indonesia yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pilpres tahun 2019 adalah terakhir kali pesta demokrasi di Indonesia dilaksanakan. Dalam pesta demokrasi terdapat pertarungan para calon presiden dan calon wakil presiden yang berebut menuju kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Selain pertarungan sang calon juga terdapat pertarungan ideologi di kedua belah pihak. Pada pilpres 2019 pertarungan Ideologi antara kubu Jokowi dengan slogan NKRI Harga Mati dengan kubu prabowo dengan slogan NKRI bersyariat menjadi sangat terlihat. Dengan kemenangan ini terlegitimasi sudah ideologi yang dibawa kubu Jokowi sebagai ideologi yang mutlak dengan kuatnya di segala lini pemerintahan. Slogan NKRI harga mati sudah menjadi sebuah ideologi. Pada awalnya sl...