Langsung ke konten utama

Halt in the town square


Suatu ketika panggilan besar untukku dan keluarga besarku. Menggema isak tangis dan haru kehilangan pionir terakhir yang merekatkan tiang bambu yang berbeda. Sungguh ku rasa akan sebaiknya mengikuti apa kata pepatah nenek moyang, dipercaya dan tampak anggun namun tak pernah masuk dalam kemurnian jiwaku.
Aku berangkat pukul 14.00 dari Semarang tempatku mengeksplorasi sudut tiap budaya yang berbeda. Kepulanganku menuju tempat asalku, Tegal terhenti tatkala terik matahari semakin redup. Beruntungnya tidak hujan saat itu, meskipun ini sedang musim hujan di bulan November. Aku menjumpai perhentian di kota sebelum tempat asalku, Pemalang. Aku memutuskan untuk melakukan pemberhentian di pusat kota itu dengan menikmati kopi yang sudah ku persiapkan dalam tremos serta rokok yang ku linting sendiri.

Aku memarkir motor dengan jarak yang cukup jauh, namun aku berpikir bahwa aku akan duduk dekat dengan lokasi parkiran. Berjalan menyusuri ramainya kota dengan suasana yang cukup panas namun berawan. Aku bertanya, apakah manusia akan selalu menepati rencananya seperti ia menepati janji kepada kekasih? Aku kira diriku sudah menjadi orang yang cukup terampil dalam membuat rencana, hanya karena terbawa suasana pusat kota memandu diriku lebih jauh hampir berkeliling setengah dari alun-alun.

Singkatnya aku memilih tempat di dekat air mancur. Ini adalah lokasi yang menurutku ideal untuk bersantai sejenak. Sambil memikirkan akan terjadi perubahan yang seperti apa pada keluargaku. Pikiranku melupakan itu tatkala bola kasti menggelinding di depanku. Aku memperhatikan sekelompok anak bermain dan manusia lain menampakkan diri dengan berbagai emosi dan perasaan. Aku mulai bertanya, mengapa perasaan dapat mewujud dalam mimik wajah dan tingkah laku? padahal emosi bukanlah fisik. Aku teringat diskusi kecil dengan seorang kawan, bahwa emosi bisa muncul karena semua itu adalah satu kesatuan. Aku tak peduli pada awalnya dan aku mulai menuliskan tentang mereka.

Sekelompok lelaki usia 6-8 tahun sedang bermain bola, ya, sepak bola adalah olahraga yang populer, aku dulu juga sering memainkannya. Seperti alun-alun kota lain, bersepeda juga menjadi kegiatan yang disukai oleh kebanyakan anak-anak. Enam anak gadis bermain jungkat-jungkit dengan tetap satu anak menggunakan pengaruhnya untuk membuat semuanya tertawa. empat anak pelajar seni bela diri sedang berlatih, namun aku bertanya dalam fikiranku, mengapa mereka tidak menggunakan seragam ketika berlatih. Oh, mungkin mereka hanya sedang bermain seperti anak lainnya sambil berlatih bela diri. Lanjut, aku melihat bahwa hal yang berbeda terungkap disana. Ya, mereka tidak menggunakan gadget ketika bermain, sungguh kontras dengan anak-anak di perumahan. Lain lagi dua anak perempuan sepertinya setingkat SMP menggunakan baju pramuka, ya karena ini hari Jum'at, menggunakan seragam pramuka pada hari jum'at merupakan peraturan di sebagian besar sekolah. tidak hanya anak-anak, ternyata ada beberapa muda-mudi, mungkin usianya di bawahku sedikit sedang membuat romansa mereka. Harmoni meraka merasuk dalam diriku, aku merasakannya, merasakan kebahagiaan. Ya, kembali lagi mereka semua tidak ada yang membuka gadget mereka.

Huh, aku merasa lelah dengan perasaanku sendiri. Salah satu pedagang lewat di depanku dan menyapa dengan masker di wajahnya, namun sorot matanya menunjukkan keramahan. Berlanjut 3 gadis umur belasan awal menyapaku dengan senyuman, ooh mereka tidak menggunakan masker. Sapaan seperti ini sudah jarang sekali ku alami, tapi tidak ketika ku duduk di alun-alun Pemalang. Sekelompok perempuan sepetinya mereka adalah gadis yang sedang memasuka masa transisi, setingkat SMA sedang bercengkerama, wah kelihatannya seru dan terus ku perhatikan dari jauh, tidak ada gadget. Dan dua orang laki-laki seusiaku bercengkerama membahas bagaimana besok bekerja dan bagaimana cara mereka untuk meningkatkan moral ekonominya.

Wah, aku teringat dengan ayah, ibu dan adik-adikku di kampung ketika aku melihat sebuah keluarga kecil sedang bersama, oh indahnya. Aku melihat ke sisi kananku, lelaki paruh baya mungkin usia 60-an membuka gadgetnya. Sedikit ku mendengar ia sedang berbicara dengan gadgetnya, sepertinya bapak itu merindukan istri dan anak cucunya. Oh tidak, ia menangis, aku menghampiri dan memberinya sebotol air mineral yang kebetulan aku membawanya. Memang benar, ia sudah sebulan tidak bertemu istri dan anak cucunya, padahal hari ini cucunya ulang tahun.

Lama aku berbincang dengan bapak itu, ia berpesan untuk jangan melupakan keluarga. Singkat cerita akhirnya ku kembali ke posisiku sebelumnya, dekat air mancur. Yaa, suasana yang tanpa ada gangguan, semua hal yang ku lihat, ku dengar dan ku rasakan terasa ramah dan tenang. Padahal ini adalah pusat kota. Ini seperti sastra, indah dan menawan, menenangkan.

Tersadar ternyata di dekat alun-alun terdapat sebuah patung, mungkin itu patung pahlawan kota ini. Hal itu mengingatkanku pada kisah panjang sang Prometheus dan para manusia yang sadar akan dirinya.

Yaa, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah aku mengingat kisah-kisah heroik zaman dulu. Aku mengambil putung rokok yang tadi aku hisap dan kemudian ku buang di tempat sampah, untungnya disini sudah ada tempat sampah khusus untuk putung rokok, aku tidak perlu khawatir tentang itu. Mengemas tremos dan menutup bukuku. Oh tidak, aku membuka bukuku kembali ketika ku lihat ada bapak-bapak berumur 40-an sedang mencari botol bekas untuk menyambung hidupnya. Sungguh ironi, kota yang harusnya menjadi pusat peradaban justru di tengah kota masih terdapat orang yang masih terasingkan. Namun tidak, bapak itu tersenyum dibalik lelah, dan mungkin kecewa, aku tak tahu. Harmoni terasa dalam rajutan antar elemen sosial masyarakat. Bahkan, di kejauhan seorang santri berjalan dengan wajah merenung yang kurasa sedang mencoba melupakan rindu akan rumah.

Aku kembali ke tempat parkir dimana aku memarkir motorku. Oh tidak, bapak-bapak penjaga parkiran menghampiri. Aku tidak masalah akan hal itu, terkadang ada kekesalan tersendiri, namun yah, ini pekerjaannya. Inilah perhentian sejenakku ketika perjalanan menuju kampung halaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasus Nissa Sabyan dan Destruksi Pola Pikir

Baru-baru ini ramai sekali perbincangan di media sosial maupun di gosip-gosip tetangga bahkan di tongkrongan kalangan mahasiswa sekalipun mengenai isu yang terjadi pada salah satu publik figur Indonesia, Nissa Sabyan. Beberapa teman saya, hampir seluruhnya dapat ditemui di status whatsapp maupun ketika sedang bertemu dan ngobrol tentangnya menyalahkan Nissa. Selain itu banyak sekali yang bertanya kepada saya terkait tanggapan mengenai kasus ini. Jujur saja saya tidak terlalu mengikuti kasus seperti ini yang menurut saya receh sekali untuk ditanggapi. Namun, saya melihat hujatan dari Netizen kepada Nissa terlalu berlebihan. Mengapa tidak? Hujatan dari netizen selalu berangkat dari background Nissa yang notabene terkenal religius (dalam tulisan ini kata religius; baca : Islami) karena sering tampil dengan gaya religi (berjilbab, senang bersholawat, dan lain sebagainya). Mungkin kasus seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia dimana oknum yang sering tampil religius tetapi dianggap m...

Kebebasan, apakah ada? Pernahkah kita dengan sadar mempertanyakannya?

Terdapat jarak antara diri, kebebasan imajinatif dan kesadaran. Ilustrasi : gambar dari Ade Lyonna; keadaan memaksa tuk sadar namun selalu berpikir akan takdir. Dalam dunia perkuliahan khususnya yang menempuh studi filsafat takkan lepas dari yang namanya diskusi. Dalam diskusi kefilsafatan seringkali dipahami sebagai kebebasan berpikir dan penyampaian pendapat. Hal ini ditujukan agar terciptanya ruang diskusi. Namun, saya selalu bertanya terkait apa itu kebebasan, apakah kebebasan itu ada? atau hanya dalih untuk suatu kepentingan belaka? ideologi misalnya. Terkait dengan ideologi ada suatu faham ideologi yang sangat fanatik dengan kebebasan menurut saya yang pastinya sudah tak asing lagi di telinga kita, yakni liberalisme. Liberalisme menjunjung tinggi asas kebebasan, manusia bebas berbuat apa saja, hal ini berbanding terbalik dengan sosialisme yang menjunjung tinggi kesetaraan. Antara kebebasan dan kesetaraan selalu menjadi hal yang kontradiktif dan selalu menghasilkan perdebatan. Bah...

NKRI Harga Mati sebuah slogan yang menjadi ideologi : Analisis Kritis teori hegemoni Antonio Gramsci.

Kemenangan Joko Widodo atas Prabowo dalam pilpres 2019 menandakan kemenangan keduanya atas Prabowo dua kali berturut-turut di ajang pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Pesta Demokrasi di Indonesia sudah menjadi sebuah tradisi bagi bangsa Indonesia yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pilpres tahun 2019 adalah terakhir kali pesta demokrasi di Indonesia dilaksanakan. Dalam pesta demokrasi terdapat pertarungan para calon presiden dan calon wakil presiden yang berebut menuju kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Selain pertarungan sang calon juga terdapat pertarungan ideologi di kedua belah pihak. Pada pilpres 2019 pertarungan Ideologi antara kubu Jokowi dengan slogan NKRI Harga Mati dengan kubu prabowo dengan slogan NKRI bersyariat menjadi sangat terlihat. Dengan kemenangan ini terlegitimasi sudah ideologi yang dibawa kubu Jokowi sebagai ideologi yang mutlak dengan kuatnya di segala lini pemerintahan. Slogan NKRI harga mati sudah menjadi sebuah ideologi. Pada awalnya sl...