Suatu ketika panggilan besar untukku dan keluarga besarku. Menggema isak tangis dan haru kehilangan pionir terakhir yang merekatkan tiang bambu yang berbeda. Sungguh ku rasa akan sebaiknya mengikuti apa kata pepatah nenek moyang, dipercaya dan tampak anggun namun tak pernah masuk dalam kemurnian jiwaku. Aku berangkat pukul 14.00 dari Semarang tempatku mengeksplorasi sudut tiap budaya yang berbeda. Kepulanganku menuju tempat asalku, Tegal terhenti tatkala terik matahari semakin redup. Beruntungnya tidak hujan saat itu, meskipun ini sedang musim hujan di bulan November. Aku menjumpai perhentian di kota sebelum tempat asalku, Pemalang. Aku memutuskan untuk melakukan pemberhentian di pusat kota itu dengan menikmati kopi yang sudah ku persiapkan dalam tremos serta rokok yang ku linting sendiri. Aku memarkir motor dengan jarak yang cukup jauh, namun aku berpikir bahwa aku akan duduk dekat dengan lokasi parkiran. Berjalan menyusuri ramainya kota dengan suasana yang cukup panas namun berawan. ...