Hans-Georg Gadamer adalah seorang filosof Hermeneutik yang dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900. Kajian sederhana ini diinspirasi oleh kehebohan karya Gadamer yang berjudul Wahrheit und Methode. Grundziige einer philosophischen Hermeneutik [Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya] (1960). Selain berhasil melambungkan nama Gadamer sejajar dengan nama para filsuf sebelumnya, magnum opus ini juga berhasil mendobrak kebuntuan dunia pemahaman yang sempat mandek.
Gadamer sengaja memberi judul bukunya yang monumental ini, Truth and Method (Kebenaran dan Metode), sarat dengan semangat polemik. Kalimat yang dipisahkan oleh kata dan menunjukkan adanya ketegangan tertentu. Ia ingin menantang secara konstruktif metode-metode empiris untuk masuk ke wilayah ilmu-ilmu humaniora. Untuk mencapai kebenaran dalam konteks konstelasi penafsiran, seorang hermeneut mesti lari dari cengkraman metode untuk kemudian menceburkan diri di tengah pusaran dialektika tiada henti mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran hingga akhirnya menjadi bulat, utuh.
Sekalipun demikian, Gadamer tidaklah bersifat anti-metodologis. Ia berargumen bahwa presentasi metodologi apa pun (positivistik atau bukan) adalah buta kalau memandang dirinya sebagai epistemologi, yakni menghilangkan syarat kebenaran (the true) menjadi syarat yang benar (the right) dari sebuah aplikasi teknik. Gadamer memandang karryanya ini sebagai usaha untuk memenuhi aspirasi metodologi yang terdalam. Di bawah metode ini, Gadamer ingin menjelaskan syarat-syarat yang mendasar bagi munculnya kebenaran yang bukan sekadar suatu teknik tentang sesuatu yang dilakukan subyek, melaikan sebagai akibat dari sesuatu yang terjadi tanpa kamuan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita.
Gagasan Gadamer tentang hermeneutika filosofis merupakan sebuah gebrakan dalam lapangan hermeneutik. Lewat karya monumentalnya Truth and Method yang lahir pada tahun 1960, Gadamer berhasil mentahbiskan diri sebagai seorang pemikir terkemuka dalam filsafat kontemporer. Dengan progresivitas pemikiran hermeneutik ala Gadamer, impian umat Islam untuk menggapai kejayaan peradaban akan segera terwujud. Sebab, imbas pemikiran Gadamer akan memberikan efek besar terhadap perubahan tradisi Islam yang selama ini terasa sangat kaku dan beku. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini perlu upaya “membumikan” pemikiran Gadamer di kalangan umat Islam yang tengah tertidur lelap.
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik. Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.
Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran Hegel. Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan.
Pertama, building atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.
Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar.
Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
Baru-baru ini ramai sekali perbincangan di media sosial maupun di gosip-gosip tetangga bahkan di tongkrongan kalangan mahasiswa sekalipun mengenai isu yang terjadi pada salah satu publik figur Indonesia, Nissa Sabyan. Beberapa teman saya, hampir seluruhnya dapat ditemui di status whatsapp maupun ketika sedang bertemu dan ngobrol tentangnya menyalahkan Nissa. Selain itu banyak sekali yang bertanya kepada saya terkait tanggapan mengenai kasus ini. Jujur saja saya tidak terlalu mengikuti kasus seperti ini yang menurut saya receh sekali untuk ditanggapi. Namun, saya melihat hujatan dari Netizen kepada Nissa terlalu berlebihan. Mengapa tidak? Hujatan dari netizen selalu berangkat dari background Nissa yang notabene terkenal religius (dalam tulisan ini kata religius; baca : Islami) karena sering tampil dengan gaya religi (berjilbab, senang bersholawat, dan lain sebagainya). Mungkin kasus seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia dimana oknum yang sering tampil religius tetapi dianggap m...
Komentar
Posting Komentar