(source: republika.co.id) |
Prof. Dr. Harun Nasution merupakan seorang filsuf dan
pemikir Islam yang dikenal memiliki kecerdasan intelektual dan sudah diakui
yang lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara, 23
September 1919 dan wafat di Jakarta tanggal 18
September 1998. Harun Nasution pernah menjabat sebagai rektor IAIN
Syarif Hidayatullah-sekarang UIN Syarif Hidayatullah. Prof. Dr. Said Agil Husin
al Munawar, MA (2001 : X) pernah menuliskan tentang Harun Nasution bahwa beliau
sangat berjasa bagi pengembangan program pascasarjana IAIN di Indonesia.
Perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang tidak asing
dan memang sudah ada sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. yang terus berkembang
hingga hari ini. Umat Islam selalu sibuk dengan perdebatan akan perbedaan
pendapat antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain sehingga melupakan
apa yang sebenarnya mereka debatkan, apakah benar atau salah. Lalu bagaimana
pemahaman terkait Islam yang sebenarnya? Mengapa Islam selalu memperdebatkan
hal ini dan bagaimana menanggapi persoalan tersebut? Harun Nasution adalah
sosok yang diakui sebagai pemikir kritis, radikal dan filosofis sebagai
tanggapan Harun Nasution memiliki beberapa rumusan, hal ini karena Otoritas
Intelektual dan Moral yang dimiliki oleh Harun Nasution (Majid, 2002 : 93).
Sebagai seorang intelektual, Harun Nasution telah melahirkan
karya-karya berupa tulisan ilmiah. Karya-karyanya ini sering menjadi rujukan di
kalangan akademisi Indonesia dalam konteks studi keislaman. Diantara
karya-karyanya yang publikasikan adalah; (Ariendonika, 2005 : 18).
·
1. Teologi
Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (1972)
·
2. Falsafat
Agama (1973)
·
3. Falsafat
dan Mistisisme Dalam Islam (1973)
·
4. Islam
Ditindjau dari Berbagai Aspek, terdiri dari 2 Jilid
·
5. Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
·
6. Akal
dan Wahyu dalam Islam (1982)
·
7. Islam
Rasional (1995).
Islam yang Sebenarnya
Sebagai seorang filsuf dan pemikir Islam, Harun Nasution
sangatlah radikal dalam berpikir. Salah satu kalimat beliau yang sering di
dengar ialah penekanan terhadap kalimat "Islam yang sebenarnya" hal
ini mengindikasikan bahwa Islam yang kita pahami saat ini bukanlah Islam yang
sebenarnya menurut Harun Nasution. Beliau juga sosok yang unik, salah satu
keunikannya ialah beliau tidak pernah menjawab kritik terhadapnya (Yusuf, 2002
: 64). Banyak yang menkritik Harun akan tetapi tidak pernah dijawab olehnya.
Menurut Harun untuk apa menjawab kritikan, toh itu karena mereka (yang
mengkritik) belum tahu. Pemikiran yang mendalam dan dan keunikan ini tercermin
para maksud Islam yang sebenarnya.
Islam yang sebenarnya adalah dalam arti Islam itu luas. Hal
ini dipahami karena banyak sekali paham yang ada yang menjadikan Islam kaku dan
sempit. Maka dari itu Harun memformulasikan pemikirannya, salah satunya ialah
Islam yang sebenarnya. Menurut Harun paham-paham yang ada malah pada akhirnya
mengkreditkan konsep Islam itu sendiri sehingga terjadilah debat argumen yang
berakhir dengan mengkafirkan. Menurut Harun, selama itu tidak keluar dari jalur
Islam maka dia tidaklah sesat atau kafir, karena semua itu adalah perbedaan
pemahaman yang mana tidak keluar dari Islam kecuali mengatakan bahwa Tuhan ada
2. Sebagai contoh ialah paham terkait Takdir antara Jabariyah dan Qodariyah
yang selama ini kita tahu bahwa dua golongan ini saling bertentangan.
Penganut masing-masing aliran mengatakan dialah yang benar
dan yang lain salah, akan tetapi Harun mengatakan tidak ada yang salah tidak
ada yang kafir atau keluar dari Islam selama masih mempercayai Allah swt
sebagai Tuhan, Al Quran adalah wahyu Allah SWT., Nabi Muhammad SAW. adalah
utusan Allah, dan adanya hari akhir. Empat konsep ini yang menurut Harun tidak
boleh ada perbedaan. Jika hal lain terdapat perbedaan maka itu sah-sah saja dan
tidak menjadikannya keluar dari Islam, orang keluar dari Islam jika dan hanya
jika melanggar empat kesimpulan diatas (Yusuf, 2002 : 67). Malaikat, takdir,
sosial dan lainnya tidaklah salah jika terdapat perdebatan. Menurut Harun yang
tidak boleh ada perdebatan ialah empat konsep di atas. Harun Nasution
membedakan ajaran Islam menjadi dua, yakni yang dasar empat konsep yang telah
disebutkan di awal dan non-dasar yaitu hal lain selain empat konsep di atas. Mengenai
kedua ajaran tersebut, Harun Nasution mengemukakan kalau ingin mengadakan
pembaharuan dalam Islam, kuncinya adalah membedakan antara ajaran yang absolut
dengan ajaran yang relatif (Suminto, 1989 : 53).
Menuju Islam Universal
Harun Nasution adalah Dosen Pengampu mata kuliah yang
berhubungan dengan pentingnya berpikir mendalam dan sistematis, seperti
Filsafat Agama, Aliran Modern dalam Islam, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam
Islam (Kalam, Filsafat dan Tasawuf). Hal ini membuktikan begitu mumpuninya
beliau dalam hal berpikir. Untuk menuju pembaharuan Islam, kita harus memahami
konsep Islam universal.
Untuk memahami hal ini, Harun Nasution mengajak untuk
berpikir rasional, tidak takut dengan filsafat, tidak merendahkan kemampuan
akal, tidak sempit, dan tidak dogmatis. Sebagai contoh dalam diskusi mengenai
perbuatan manusia dengan perbuatan Tuhan, sebagaian besar memahami bahwa
Jabariyah dan Qodariyah adalah paham yang salah dan memiliki alternatif paham
ketiga yakni kasb yang diyakini benar. Dalam mendiskusikan hal ini
selalu menghasilkan kemudahan konsep Jabariyah dan Qodariyah untuk dimengerti,
sedangkan logika paham kasb sulit dipahami akal (Dahlan, 2002 : 69).
Dalam melihat dunia Islam setidaknya Harun Nasution melihat
tiga titik perhatian, yakni (1) kemunduran dunia Islam, (2) paradigma dogmatisme
pemikiran Islam, dan (3) Tantantan Global. Harun Nasution memperhatikan tiga
hal ini sebagai dasar menuju Islam universal.
Kemunduran dunia Islam yang diperhatikan Harun ialah dalam
hal memahami al Quran dan Hadits secara rasional. Kebiasaan ini hanya bertahan
pada zaman klasik Islam. Namun di abad pertengahan perkembangan pemikiran
rasional semakin menurun, bahkan tergantikan oleh pemikiran tradisional (Irfan,
2018 : 115). Pemikiran tradisional ditandai dengan sikap taqliq atau
meniru terhadap hasil ijtihad ulama zaman klasik, tidak hanya ditiru saja
bahkan sampai dianggap suci sehingga yang tidak sesuai dengan ijtihad ulama’
yang dianut akan dianggap sesat atau menyimpang.
Paham tradisional yang tidak hanya tekstual terhadap al
Quran dan Hadits juga taqliq terhadap ulama’ klasik, hal inilah yang melahirkan
pemikiran dogmatis dan juga statis, tidak berkembang, hal ini karena paham
dogmatis tidak akan mau menerima pembaharuan apapun atau pun paham manapun yang
tidak darinya (ulama’) rumuskan.
Paham tradisional dan dogmatis ini tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman yang mana segala permasalaham sangatlah berbeda dengan zaman
klasik. Tantangan zaman yang semakin kompleks juga menjadi perhatian Harun
Nasution. Jika pemikiran Islam masih tradisionalis maka tidak akan bisa
menjawab tantangan zaman yang begitu kompleks dan samgat berbeda, maka dari itu
Harun menekankan dalam memahami Islam haruslah rasional agar Islam juga dapat
menjawab tantangan zaman.
Dari paparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, memahami
Islam yang universal haruslah memahami konsep-konsep di atas. Pertama, Dasar
ajaran Islam ada yang Qath’i atau dasar dan non-dasar, apabila terdapat
perbedaan dalam ajaran non-dasar masih dapat dikatakan Islam. Kedua, perlu
diketahui juga peran akal untuk menuju Islam yang universal sangat diperlukan
karena peranan akal sangat penting untuk melakukan pembaharuan, tidak hanya
terkurung dalam pemikiran klasik yang tentunya sudah memiliki perbedaan
masalah. Ketiga, penggunaan filsafat juga memiliki peranan yang tak
kalah penting. Hanya agama yang tak rasional yang tidak bisa berdampingan
dengan filsafat (Dahlan, 2002 : 74). Filsafat akan menjadi senjata untuk
menjelaskan keyakinan terhadap agama dengan cara rasional seperti yang
dilakukan penyerang agama yang menggunakan model berpikir rasional juga.
Orientasi Intelektual dan Moral
Dalam berpikir dan menuntut Ilmu Harun Nasution tidaklah qaulan
tetapi manhajan, yakni bukan mengikuti apa yang dikatakan tetapi
mengikuti secara manhaj atau cara beepikir. Sebagai contoh Jika
mengikuti Imam Syafi’i jangan qaulan tetapi manhajan, yakni pada
cara berpikir Syafi’i bukan perkataannya yang bersifat literal (Majid, 2002 :
77). Jika seluruh umat Islam seperti ini maka tidak akan ada yang namanya
perselisihan karena berbeda pemahaman. Dalam sejarah, Imam Syafi’i dan gurunya
memiliki perbedaan pendapat sekitar dalam seribu perbedaan masalah. Imam Abu
Hanifah dengan Imam Malik berbeda pendapat dalam sekitar tiga belas ribu
masalah, akan tetapi tidak ada saling permusuhan apalagi saling menyesatkan. Hal
ini juga dapat menjawab mengapa Harun Nasution tidak pernah menjawab kritik
terhadapnya.
Harun Nasution adalah seorang yang tidak melihat ilmu itu
memiliki batas (Majid, 2002 : 78). Orientasi intelektual Harun Nasution
dibangun pada awalnya dengan dasar ini yang sehingga menghasilkan berbagai
karya yang mampu mengguncang pemikiran Islam.
Semua orang tahu bahwa Harun adalah seorang yang dekat
dengan paha Mu’tazili. Akan tetapi beliau juga berguru pada Abah Anom yang mana
keduanya sangat kontradiktif. Harun berada di ujung rational dan ujung intuitif-irrational.
Hal ini juga menunjukkan bahwa Harun adalah sosok yang juga paham akan
zamannya, satu sisi dia seorang Mu’tazili yang sangat rasional dan sisi lainnya
berada di pelukan Abah Anom.
Selain rasional dan intuitif-irrasional Harun juga dalam
orientasi intelektualnya menggunakan paham metafora dalam memahami ayat agama
yang mana berawal dari paham teologia negativa, sebagai contoh gelas
negatifnya adalah bukan cangkir, selesai dan sederhana, akan tetapi bakal
menjadi masalah jika positif gelas adalah tempat untuk air yang terbuat dari
beling, bagaimana dengan gelas plastik. Paham ini sangat penting karena dalam
memahami agama tidaklah sebuah high-reality (Majid, 2002 : 84) karena
tidak bisa digambarkan. Oleh karenanya banyak orang zaman dahulu menggambarkan
gunung adalah tempat Tuhan. Untuk itu perlu dipahami bahwa ayat al Quran
bersifat metafora yang mana tidak akan menjadikan pengetahuan yang terdapat
dalam al Quran menjadi statis.
Dari paparan di atas kita dapat mengetahui bagaimana orientasi
intelektual Harun Nasution yang berada di ujung yang satu dan ujung yang lain
serta moralitas yang tinggi terhadap pengetahuan serta kritik terhadapnya.
Pemikiran Harun Nasution rasanya sangat perlu untuk lebih dikaji dan dipahamkan
kepada umat Islam yang notabene masih banyak yang berpaham tradisionalis
sehingga mudah menyalahkan dan mengkafirkan sesama.
Kesimpulan dari tulisan ini ialah dalam memahami Islam
bukanlah dengan cara qaulan yang mana hanya menurut bahkan mensucikan perkataan
ulama’ zaman dulu yang sudah pasti memiliki permasalaham yang berbeda dengan
zaman ini. Kita dituntut agar bisa menggunakan akal kita dan berpikir rasional,
selain itu perlu juga diimbangi dengan pemikiran yang intuitif, hal ini agar
terjadi keseimbangan bathin. Kemudian sikap Harun yang mana melihat ilmu tidak
ada batasnya serta memahami perbedaan pendapat, menghormatinya selama bukan
pada ranah ajaran pokok atau ajaran dasar Islam.
Komentar
Posting Komentar